METROKalteng.com
NEWS TICKER

Damang Gunung Purei Moratorium Tuntutan Adat Hutan Sakral Gunung Piyuyan

Thursday, 8 October 2020 | 3:53 pm
Reporter:
Posted by: metrokal
Dibaca: 91

Muara Teweh, (METROKalteng.com) – Damang Kepala Adat (DKA) Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utara (Kab-Barut), Kalimantan Tengah (Kalteng), Sahyuni moratorium tuntutan denda adat yang dilakukan oleh oknum warga Desa Muara Mea kepada perusahaan HPH PT Indexim Utama atas kasus permasalahan hutan sakral Gunung Piyuyan.

Dalam menghentikan tuntutan terhadap hutan sakral Gunung Piyuyan, karena dirinya selaku pihak yang bertanggung jawab demi wibawa hukum adat bagi masyarakat dayak, khususnya diwilayah Kecamatan Gunung Purei yang sudah permanen diwariskan secara turun menurun oleh nenek moyang atau para leluhur terdahulu guna mengatur tatanan adat diwilayah Gunung Purei ini menjadi tertib, kondusif dan bisa hidup berdampingan antara pihak yang satu sama lainnya.

Dikatakannya, afanya tuntutan kepada pihak perusahaan diduga adanya motif pribadi, kelompok dan beberapa oknum tertentu,akan tetapi bukan untuk keseluruhan masyarakat Gunung Purei. Sebab bila menyangkut persoalan adat, tentu harus melalui musyawarah mufakat, dan selalu berkonsultasi dengan para tokoh adat serta para sesepuh yang di tuakan baik di desa maupun di kecamatan guna memberi petunjuk atau arahan supaya tidak melenceng dari tatanan aturan adat yang berlaku didaerah.

“Tentunya, saya selaku Damang Kecamatan Gunung Purei, kalau adat-istiadat dari luar dibawa ke Kecamatan Gunung Purei secara tegas saya menolak dan tidak terima. Sebab disini sudah punya cara dan tatanan kehidupan adat istiadat, dengan demikian, secara tegas saya menghentikan dan meniadakan acara ritual gomek dan bontang yang telah ditandai dengan penyerahan satu piring putih,” tegad Sahyuni pada Moment pertemuan yang digelar di Kecamatan Gunung Purei.

Untuk itu, Damang mengimpormasikan, jika ada permasalahan tuntutan seperti minta pencairan dana yang mengatasnamakan untuk ritual gomek dan buntang tanpa sepengetahuan dirinya, jelas itu bukan menjadi tanggung jawab dirinya, karena adnya tuntutan dimaksud harus melewati musyawarah mufakat bersama yang menjadi tanggung jawab terhadap adat istiadat setempat.

“Penghentian ini sesuai kapasitas saya selaku penanggung jawab penegakan hukum adat istiadat yang menjalankan peradilan adat di wilayah Kecamatan Gunung Purei. Saya tidak mau, ada acara demi acara, penyelesaian demi penyelesaian dan perdamaian demi perdamaian yang memiliki buntut konflik berkepanjangan kebelakang. Sebab Keberadaan adat istiadat adalah untuk mengatur supaya hidup yang beradab dan kondusif,” tandas Sahyuni.

Sahyuni juga membeberkan untuk acara ritual pelepasan pali kain kuning hanya cukup dengan satu ekor ayam jenis ayam urit merah yang tidak dibunuh dan hanya diperlihatkan kepada roh leluhur yang menyatakan warga dan perusahaan bersepakat menyampaikan permohonan maaf.

“Dalam permasalahan ini diduga ada pihak oknum tertentu atau penggugat tetap mengajukan rincian biaya selamatan belian secara sembunyi sembunyi kepada perusahaan dan tanpa koordinasi dan tidak meminta petunjuk kepada saya selaku penanggungjawab keseluruhan soal adat di Kecamatan Gunung Purei,” tegasnya.

Bahkan pada pagi hari Sabtu (26/9/2020) lalu tiba-tiba mereka mengadakan balian selamatan, tanpa melibatkan damang, padahal kami sendiri aktif berdomisili di Desa Muara Mea, tetapi tidak pernah dilibatkan sama sekali.

Kemudian, hari Jumat (27/09/2020) mereka warga mengatar ancak ke Gunung Piyuyan. Padahal pada malam sebelumnya Ketua Adat Desa Muara Mea datang ke rumah dan menyuruh saya ikut kelapangan untuk membuka portal kain kuning yang dipasang.

Dengan adanya tuntutan oleh oknum tertentu kepada perusahaan, Ketua Adat bersama beberapa orang oknum warga Desa Muara Mea telah melecehkan dirinya sebagai damang dan yang lebih parah lagi, karena warga tidak mau membuka portal tersebut apabila perusahaan tidak membayar uang sebesar Rp 28 juta untuk acara selamatan balian guna melaksanaka ritual.

Karena dana sebesar Rp 28 juta tersebut dibagi-bagikan mereka ke warga berupa satu piring putih dan uang senilai Rp100 ribu/KK sebagaian untuk upah mereka melepas portal kain kuning yang ada diwilayahb Gunung Piyuyan.

Karena awal permasalahan tersebut ada tim gabungan yang terdiri dari pihak kecamatan, Polsek, Koramil serta pihak warga yang turun ke lokasi untuk menyaksikan aktivitas perusahaan ke Gunung Piyuyan.

Karena, mereka secara diam-diam memasang portal dengan kain kuning ke Gunung Piyuyan sana dan mereka yang melepas dan dapat upahnya atas pemasangan portal kain kuning.

Adanya perlakuan dalam pembagian piring putih serta uang Rp 100 ribu itu secara otomatis berarti warga sudah memaafkan perusahaan dan ke leluhur, karena sudah diadakan balian selamatan. Lalu perdamaian sudah selesai dan tatanan adat istiadat,dengan demikian harusnya tak ada lagi kegiatan ritual gomek dan buntang.

“Untuk itu, secara resmi saya menutup kegiatan ritual gomek dan buntang tersebut. Karena sudah cukup dengan diselesaikan acara selamatan balian dan bagi-bagi piring putih dan uang Rp100 ribu/KK. Saya mempersilakan kepada siapapun yang merasa tersinggung atas sikap saya ini, karena ini murni demi menjaga wibawa hukum adat. Sebab jangan jadikan Gunung Piyuyan ini sebagai ajang bisnis dengan mengatasnamakan tuntutan adat dan keyakinan,” tukasnya.

Damang juga mengklarifikasi terkait pemberitaan salah satu media sosial yang menyatakan permasalahan kasus Gunung Piyuyan telah ditangani Damang. Karena hingga sampai sekarang permasalahan tersebut masih belum pernah ditangani damang.

Damang juga membenarkan, ada penyerahan tuntutan, tetapi itu dari Majelis Agama Hindu Kaharingan Kabupaten Barut, karena tuntutan dari masyarakat enam orang sebagai penuntut sampai sekarang belum ada penyerahan. Sedangkan yang penyerahan hanya dari pihak perusahaan. Padahal permasalahan pokok utama berasal dari enam orang dari Desa Muara Mea yang sampai sekarang mereka enggan untuk menemui Damang.

“Lantaran, jika belum ada penyerahan resmi terksitbpermasalahan kepada saya selaku Damang Kepala Adat Kecamatan Gunung Purei, tentunya tidak bisa saya laksanakan. Kendatipunada tembusan surat, tetapi itu hanya sebatas pemberitahuan, bukan untuk ditangani, karena secara hirarki sebuah kasus yang ingin ditangani harus lah datang melaporkan atau menyampaikan laporan secara langsung, baru bisa ditindak lanjuti dengan memanggil sejumlah pihak yang berkepentingan,” tandasnya. (Uzi)

Contak Redaksi 081349007114, 081250001889